KATA
PENGANTAR
Puji dan
Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunianya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Peradilan Administrasi Negara 1.
Makalah ini
dibuat dengan mengambil beberapa sumber referensi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini khususnya kepada Bapak Drs. H. Tatang Mukhtar, M.Si yang telah memberikan waktunya untuk
penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun penulis. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Bandung, April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR
ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 2
1.3 Tujuan................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Urgensi
Peradilan Administrasi Negara........................................................... 3
2.2 Sejarah Peradilan........................................................................................... 4
2.3 Kompetensi Peradilan Tatausaha
Negara ( Peradilan Administrasi Negara ) 8
2.4 Peradilan Tatausaha Negara............................................................................. 11
2.5 Peninjauan Kembali oleh Organ yang bersangkutan.................................... 13
2.6 Kasus................................................................................................................... 16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Peradilan Administrasi negara adalah peradilan yang menyangkut
pejabat-pejabat dan instasi-instasi administrasi negara, baik yang bersifat
“perkara-perkara pidana atau perdata” dan “perkara adminstrasi negara murni”. Peradilan
Administrasi Negara juga dapat di artikan sebagai peradilan yang menyelesaikan “perkara-perkara
administrasi negara murni” semata-mata.
Peradilan Administrasi Negara (PTUN) di perlukan keberadaannya,
sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa kepentingannya
di rugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata badan atau
pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar ketentuan
hukum. Di indonesia, pengadilan administrasi negara di kenal dengan pengadilan
tata usaha negara. Setiap lembaga-lembaga peradilan mempunyai kewenangan dan
fungsi masing-masing, sehingga lembaga-lembaga peradilan ini mempunyai
kompetensi absolut yang berbeda satu dengan
lainnya.
Keberadaan peradilan administrasi negara (PTUN) di berbagai negara
modern terutama negara-negara penganut paham Welfare State ( Negara
Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang menjadi tumpuan harapan masyarakat
atau warga negara untuk mempertahankan hak-haknya yang di rugikan oleh
perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara karena keputusan atau
kebijakan yang di keluarkannya.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa
Urgensi Peradilan Administrasi Negara?
2.
Bagaimana
Sejarah Peradilan?
3. Apa
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi Negara)?
4.
Apa
Peradilan Tata Usaha Negara?
5.
Bagaimana
Peninjauan kembali oleh organisasi yang bersangkutan?
6.
Apa
kasus-kasusnya?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
Mengetahui Urgensi Peradilan Administrasi Negara.
2.
Untuk
mengetahui sejarah Peradilan.
3. Untuk
mengetahui Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi
Negara).
4.
Untuk
mengetahui peradilan Tata Usaha Negara.
5.
Untuk
mengetahui peninjauan kembali oleh organisasi yang bersangkutan.
6.
Untuk
mengetahui Kasus-kasus apa saja yang terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Urgensi Peradilan Administrasi Negara
Ayat
1 :Kekuasaan kehakiman di lakukan oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang-undang.
Dasar peradilan dalam UUD 1945:
Ayat 2 : susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu di atur dengan
undang-undang.
Sebagai pelaksanaan
pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1)
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan.
Dengan demikian
penyelenggaran Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi) di
Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan
perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
Apabila kita melihat
kebelakang, maka sejarah menunjukkan bahwa keinginan untuk memiliki Peradilan
Tata Usaha Negara secara lebih konkret sudah mulai dirintis oleh Wirjono
Prodjodikiro sejak tahun 1949. Hal itu dapat diketahui dari naskah Rancangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1949 tentang Acara Dalam Soal Tata Usaha
Pemerintahan.
Indonesia sebagai
Negara hukum telah berusaha meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warganya
dalam segala bidang. Kesejahteraan itu hanya dapat dicapai dengan melakukan
aktivitas–aktivitas pembangunan disegala bidang. Dalam melaksanakan pembangunan
yang multi kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah
memainkan peranan yang sangat besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah
tersebut adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi,
penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang,
pemborosan, dan sebagainya.
Perlindungan hukum
terhadap rakyat atas tindak pemerintahan tidak dapat ditampung oleh peradilan
umum yang ada. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peradilan khusus yang
dapat menyelesaikan masalah tersebut, yakni: sengeketa antara pemerintah dengan
rakyat. Peradilan yang dimaksud yaitu peradilan administrasi. Begitu pentingnya
peradilan administrasi ini untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat atas
tindak pemerintah.
Dengan diberlakukannya
UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan pasal
143A dapat disebut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, maka dewasa ini
perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh
penguasa dapat dilakukan melalui 3 badan, yakni Badan
Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Umum.
1.
Peradilan bagi bangsa Romawi, Persi dan Mesir kuno
Sejarah peradilan telah ada sejak adanya manusia.
Begitu pula pada bangsa Romawi. Persi dan bangsa Mesir Kuno pada masa yang
lalu. Peradilan pada bangsa Romawi Persi, dan Mesir Kuno telah memiliki lembaga
peradilan yang sedemikian rupa terorganisir dengan memiliki undang-undangataupun
peraturan dan program-program yang akan dilaksanakan oleh Qadi. Qadhi merupakan
orang yang diangkat negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan suatu
perkara berdasarkan hukum Allah SWT.
Saksi, sumpah, atau keadaan tertangkap basah merupakan
alat-alat bukti dalam peradilan. Hal tersebut merupakan pendapat dari bangsa
israel dan bangsa Arab sebelum Islam. Bangsa Barat juga menjelaskan tentang
teknik pengambilan keputusan dan alat-alat bukti dalam peradilan. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya peradilan pada masa ini telah ada walaupun masih
sederhana.
2. Peradilan Bangsa Arab Sebelum Islam (Masa
Jahiliyah)
Negara Arab merupakan
negara yang dikelilingi berbagai negara : utara oleh Syiria, sebelah Timur oleh
Najd, Sebelah Barat oleh Yaman dan sebelah selatan oleh Laut Erit. Letak geografinya yang sangat strategis sehingga kehidupan
perekonomiannya berjalan dengan lancar. Arab sebagian besar wilayahnya
dikelilingi oleh gurun pasir yang sangat luas, dan sangat mempengaruhi
kehidupan mereka, sehingga orang-orang Arab terkenal sebagai orang yang zalim
dan keras.
Hukum rimba merupakan salah satu hukum yang dianut bangsa Arab saat itu
sehingga kenyamanan hidup tidak ada. Masa tersebut juga dikenal dengan
kegelapan dimana kezaliman, penindasan, kebodohan serta segudang permasalahan
lainnya terjadi pada bangsa Arab. Dalam bidang hukum bangsa Arab sebelum islam
menggunakan Hukum adat sebagai hukum dengan berbagai cara dan bentuknya.
3. Peradilan pada Masa Jahiliyah
Jahiliyah berasal dari bahasa Arab (jahila) yang berarti kebodohan,
sedangkan menurut Istilah berarti penyembahan berhala Bangsa Arab pada zaman
jahiliyah sebelum islam memiliki system peradilan yang mapan. Namun mereka yang
berpegangan pada tradisi dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing
kabilah (suku) untuk menjadi pedoman utama dalam menyelesaikan suatu
permasalahan.
Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’rii) yang biasa dilakukan oleh
suku-suku Arab pra Islam dan menjadi jalan ke luar dari kasus-kasus pidana,
terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru sering
kali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya
suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realita bahwa pada masa itu
masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal
yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama kecenderungan dari
kalangan bangsawan mereka.
Dalam melaksanakan peradilan pada mulanya dilakukan di mana saja seperti di
bawah pepohonan, kemah-kemah maupun pasar kota. Lalu Amir bin Zahrib duduk
memutuskan hokum di depan rumahnya. Sampai akhirnya dibangun bangunan khusus
untuk pengadilan. Bangunan pengadilan yang termasyhur adalah Darun Nadwah yang
ada di makah yang dibangun oleh Qushay bin ka’ab yang pintunya diharapkan ke
kabah. Namun pertengahan abad ke 3 Hijrah bangunan tersebut dihancurkan oleh
khalifah Mu’tadlid al-Abbasy (281 H).
Sejarah Peradilan di Indonesia
Sejarah berdirinya lembaga pengadilan di Indonesia jauh sudah ada sebelum
penjajahan Belanda. Kala itu dikenal adanya berbagai pengadilan yang
diselenggarakan kerajaan-kerajaan di nusantara. Meskipun pada zaman kerajaan
itu, yang berkuasa adalah mutlak pada raja dan menjalankan peradilan adalah
raja, tetapi tidak dapat pula disangkal bahwa di Indonesia ketika itu, tidak
semua perkara diadili oleh raja sebab pada tiap-tiap kesatuan hukum memiliki
kepala-Kepala adat dan daerah yang sekaligus juga dapat bertindak sebagai hakim
perdamaian. Hal ini terbukti dengan adanya penyelidikan sarjana Belanda yang
telah berhasil menunjukkan adanya suatu garis pemisahan di antara pengadilan raja dengan pengadilan yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu.
Melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 Negara Republik Indonesia kembali
menggunakan UUD 1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah
mengalami amandemen. Sejak mulai berlakunya kcmbali UUD 1945, lembaga pengadilan telah berbeda jauh dengan
lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak itu tidak dijumpai lagi peradilan
Swapraja, peradilan adat, peradilan desa, namun badan-badan peradilan telah berubah
dan berkembang. Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
mcnyebutkan adanya empat lingkungan Peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha ncgara.
Kemudian sejalan jatuhnya pemrintahan Orde baru yang disertai dengan
tuntutan Reformasi di segala bidang termasuk hukum dan peradilan, maka para
Hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mendesak pemerintah
supaya segera mereformasi lembaga peradilan. Karena kekuasaan Pengadilan yang
ada saat itu masih belum bisa dipisahkan dari Eksekutif, oleh karena untuk
urusan administrasi dan finansial masih dibawah Menteri Kehakiman yang
merupakan pembantu presiden. Perjuangan menjadi kekuasaan yudikatif yang
mandiri dibawah Mahkamah agung itu itu berlangsung cukup lama hingga kemudian
mengalami perkcmbangan yang cukup mendasar, yakni setelah dikeluarkannya
Undang-Undang No. 35 tahun 1999 tcntang Perubahan Atas Undang-Undang No. 4
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah
kemudian ke empat lingkungan badan peradilan dikembalikan menjadi yudikatif
dibawah satu atap Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri kemudian dicabut
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman
untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945.. Dengan berlakunya
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, kembali terjadi perubahan yang mendasar
terhadap badan/ lembaga peradilan di Indonesia.
2.3 Kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi Negara)
Di dalam pustaka hukum, kompetensi peradilan termasuk Peradilan
Tata Usaha Negara dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :
1. Kompetensi Absolute
yaitu kewenangan pengadilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus satu
jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh
badan pengadilan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam hal ini kompetensi absolute dari PTUN sesuai dengan
ketentuan Pasal 4 UU No. 5/1986 adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
2. Kompetensi relative
yaitu kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan
berkaitan pada yurisdiksi wilayahnya. Kewenangan tersebut terletak di
pengadilan manakah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara tertentu. Sedangkan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara
diatur dalam pasal 54 ayat 1 s/d 6 UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata
usaha negara yang menyebutkan :
a. Gugatan sengketa Keputusan Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Contoh : Bila Penggugat beralamat di kota Surabaya, sedangkan
Tergugat adalah Walikota Semarang , maka menurut ketentuan ayat tersebut,
gugatan diajukan di PTUN Semarang, karena Walikota Semarang berkedudukan di
daerah hukum PTUN Semarang.
b. Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
c. Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah
hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan penggugat, untuk
selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
Contoh : Penggugat
kedudukannya di daerah hukum PTUN Makasar, sedangkan Tergugat kedudukannya di
daerah hukum PTUN Semarang, maka gugatan dapat diajukan ke PTUN Makasar untuk
selanjutnya diteruskan ke PTUN Semarang.
d. Dalam hal–hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat.
e. Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
gugatan diajukan kepada pengadilan di Jakarta ;
f. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat diluar negeri ,
gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat kedudukan tergugat.
Berdasarkan jenis
lingkungan pengadilan dibedakan atas pengadilan umum (Negeri), pengadilan
militer, pengadilan agama, pengadilan TUN (pengadilan administrasi), sedangkan
berdasarkan tingkatanya pengadilan terdiri atas pengadilan tingkat pertama,
pengadilan tinggi (pengadilan tingkat banding), Mahkamah Agung (pengadilan
tingkat kasasi). Untuk menentukan kompetensi PTUN disamping kompetensi absolut
dan relatif, Pertama dapat dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok
sengketanya terletak didalam lapangan hukum perdata (bukan perkara berkaitan
dengan islam) dan pidana, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah pengadilan
umum (Negeri). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan aparatur
militer, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah pengadilan militer. Apabila
pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum perdata (berkaitan dengan
islam), maka sudah tentu yang berkompetensi adalah pengadilan Agama. Apabila
pokok sengketanya terletak dalam lapangan KTUN, maka sudah tentu yang
berkompetensi adalah pengadilan Tata Usaha Negara (hakim PTUN).
Kedua, Pembagian
kompetensi atas atribusi dan delegasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Atribusi, yang berkaitan dengan
pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat
dibedakan :
1) Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari
suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai
kedudukan sederajat/ setingkat, Contoh : Pengadilan Administrasi terhadap
pengadilan Negeri (umum), Pengadilan agama atau pengadilan militer.
2) Secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu
jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau
hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh : Pengadilan negeri (umum)
terhadap pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
b. Deligasi, yang berkaitan dengan
pembagian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang
sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh : antara Pengadilan Negeri Bandung
dengan Pengadilan Negeri antara lain di Garut, Tasikmalaya, Ciamis.
24.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Alat Ukur Keabsahan Tindakan Pemerintah
Di dalam membuat suatu keputusan (beschikking)
pemerintah harus memperhatikan ketentuan atau syarat-syarat tertentu apabila
syarat tertentu dimaksud tidak dipenuhi berakibat keputusan yang dibuat tidak
sah. Oleh karena itu tidak sahnya suatu keputusan yang dibuat pemerintah akan
berakibat tidak sahnya tindakan pemerintah. Tidak sahnya tindakan pemerintah
tersebut pada akhirnya akan berakibat keputusan yang dibuat batal demi hukum
atau dapat dibatalkan.
Agar keputusan yang dibuat oleh pemerintah dapat
berlaku sebagai keputusan yang sah, maka harus memenuhi 4 (empat) syarat antara
lain:
a. Keputusan
harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa membuatnya;
b. Oleh
karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring)
maka pembentukan kehendak tersebut tidak boleh memuat kekurangan yuridis;
c. Keputusan
tersebut diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya
dan pembuatnya juga harus memperhatikan cara-cara (prosedure) membuat
ketetapan yang dimaksud, apabila cara yang dimaksud ditetapkan dengan tegas
dalam peraturan dasar tersebut; dan
d. Isi
dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
Cacat yuridis keputusan Tata
Usaha Negara dan tindakan pemerintah menyangkut 3 (tiga) aspek utama yakni
aspek Kewenangan, Prosedur; dan Substansi/Materi.
Tindakan pemerintahan dijalankan
berdasarkan norma wewewang pemerintah baik diperoleh secara atribusi, delegasi,
maupun mandat. Dengan demikian suatu tindakan pemerintah yang tidak didasarkan
pada suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang untuk
bertindak adalah sebagai tindakan yang melanggar hukum. Oleh karena norma
wewenang sebagai norma pemerintahan, maka untuk mengukur keabsahan tindakan
pemerintah dapat menggunakan 2 (dua) alat ukur yaitu:
a. Peraturan
perundang-undangan, dan/atau
b. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Kedua alat ukur yang dimaksud diatur dalam Pasal 53 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53
Undang-undang dimaksud memuat alasan-alasan yang digunakan untuk menggugat
pemerintah atas dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan pihak
yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara.
Secara lengkap bunyi Pasal 53 adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Orang atau Badan Hukum yang merasa kepentingan dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang bewenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan yang dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis menurut
penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme yang meliputi;
a. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara;
b. Asas Tertib Penyelenggara Negara, yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara
Negara;
c. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif;
d. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara;
e. Asas
Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak ddan
kewajiban Penyelenggara Negara;
f. Asas
Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
g. Asas
Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
25. Peninjauan kembali oleh
Organ yang bersangkutan
Penerikan atau peninjauan kembali daripada perbuatan hukum administrasi
dapat terjadi pada perbutan hukum yang sah dan tidak tuna atapun sebaliknya
yakni perbuatan hukum yang tidak sah dan tidak tuna.
1. Penarikan atau peninjauan kembali daripada
perbuatan hukum administrasi yang sah dan tidak tuna
Dalam hal penarikan atau peninjauan kembali daripada perbuatan hukum
administrasi yang sah dan tidak tuna itu terdapat beberapa dalil atau asas
hukum yang wajib dijunjung tinggi.
a) Setiap penarikan atau peninjauan kembali daripada suatu tindak hukum
administrasi yang sah dan utuh wajib disertai dengan adanya suatu masa
peralihan guna memberikan kesempatan kepada warga masyarakat yang bersangkutan
secukupnya untuk menekan kerugiannya sampai sekecil-kecilnya bahkan dimana
peprlu dengan memberikan gati rugi.
b) Penarikan atau peninjauan kembali daripada suatu tindak hukum administrasi
mengenai suatu urusan yang sedang dalam penyelesaian tidak bias, oleh karena
suatu yang telah terjadi tidak mungkin ditiadakan atau diubah.
c) Penarikan atau peninjauan kembali secara sepihak dengan berlaku surut
(apalagi dengan retroaktif artinya terhitung tanggal
dikeluarkannya/dilakukannya semula) tidak bias, oleh karena akan membuat segala
apa yang telah dilakukan oleh masyarakat atau instansi yang bersangkutan yang
sah oleh sebab berpangkal pada tindak hukum administrasi tersebut menjadi
tidak sah (tanpa dasar hukum).
d) Penarikan atau peninjauan kembali daripada suatu tindak hukum administrasi
untuk hari kemudian (ex nunc atau ex tempore futuro) hanya mungkin setelah
dirundingkan dengan warga masyarakat/instansi yang bersangkutan disertai dengan
bukti yang jelas dan masuk akal ternyata demi kepentingan umum, dengan tidak
mengurangi hak warga masyarakat/instansi yang bersangkutan untuk memperoleh
ganti rugi.
2. Penarikan atau peninjauan kembali daripada
perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan (tuna, cacad)
Suatu perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan adalah suatu
tindak hukum administrasi yang melanggar atau bertentangan dengan aturan hukum
tertulis atau tidak tertulis. Dengan adanya asas legalitas (wetmatigheid)
dan asas yuridikitas (rectmatigheid), maka seyogyanyalah organ administrasi
yang bersangkutan melakukan koreksi atau ralat guna menghilangkan kekurangannya
tersebut. Terdapat dalil-dalil atau asas-asanya sebagai berikut:
a) Perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan dapat (tidak wajib)
ditarik atau ditinjau kembali oleh organ administrasi yang bersangkutan,
kecuali bilamana ada ketentuan atau aturan hukum yang menentang
penarikan/peninjauan kembali tersebut.
b) Bilamana di dalam undang-undang atau peraturan dasar tidak ada
ketentuan-ketentuan lain mengenai penarikan/peninjauan kembali maka
penarikan/peninjauan kembali tindak hukum administrasi tersebut mengikuti
bentuk dan prosedur yang berlaku bagi penerbitannya.
c) Bilamana penarikan/peninjauan kembali suatu tindak hukum administrasi yang
mengandung kekurangan akan merugikan kepastian hukum, atau mengurangi
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah atau akan menurunkan wibawa
pemerintah, atau akan menimbulkan kerugian atau penderitaan yang tidak
berperikemanusiaan kepada warga masyarakat yang bersangkutan, maka penarikan
atau peninjauan kembali tersebut tidak bias dilakukan begitu saja.
d) Bilamana tidak ada ketentuan lain dalam undang-undang-undang atau peraturan
dasarnya, maka suatu tindak hukum administrasi yang tuna karena beberapa
ketentuan atau syarat-syarat tidak dipenuhi, dapat ditarik /ditinjau kembali
untuk sementara sampai semua persyaratan dipenuhi oleh yang bersangkutan.
Bilamana dalam jangka waktu yang telah ditetapkan secara perhitungan wajar yang
bersangkutan tetap tidak dapat memenuhi persyaratannya, maka perbuatan hukum
administrasi tersebut dapat ditinjau kembali atau ditarik kembali sama sekali
dengan diganti tindak hukum administrasi lain yang memenuhi persyaratan.
26. Kasus-kasus
1.
Masalah
Pertanahan, Jika yang lebih dipersoalkan oleh Penggugat adalah mengenai
kepemilikan atas suatu bidang tanah, maka hal tersebut bukan menjadi kewenangan
PTUN untuk memeriksa memutus dan menyelesaikannya melainkan kewenangan
peradilan umum. Namun apabila yang dipersoalkan oleh Penggugat adalah
menyangkut kewenangan, substansi dan prosedur penerbitan sertipikat tanah atau
pencatatan dalam buku C Desa, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan PTUN
untuk memeriksa dan mengadilinya. Sedangkan apabila yang dipersoalkan adalah
kedua-duanya, maka persoalan kepemilikan lebih hakiki dibandingkan dengan
kewenangan, substansi dan prosedur penerbitan sertipikat tanah, sehingga oleh
karenanya PTUN harus menyatakan secara absolut tidak berwenang memeriksa
perkaranya dan gugatan dinyatakan tidak diterima.
2.
Masalah
Perizinan, bisa karena penerbitan izin atau sebaliknya penolakan penerbitan
izin, antara lain : Izin Mendirikan Bangunan, khususnya ruko, hotel dan tower
telekomunikasi, Izin Gangguan (HO) misalnya untuk mendirikan peternakan ayam,
Izin Penggunaan Bangunan, Izin Perubahan Fungsi Bangunan.
3.
Masalah
Kepegawaian, antara lain : pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor. 32 Tahun 1979, hukuman disiplin PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor. 30 Tahun 1980 (dahulu), sedangkan untuk saat ini masalah hukuman
disiplin PNS akan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979,
mutasi PNS yang dilatarbelakangi ketidakharmonisan hubungan antara
atasan-bawahan, pengisian jabatan struktural, pengangkatan sekretaris desa
menjadi PNS , penolakan terhadap penyandang cacat untuk mengikuti tes CPNS ,
masalah poligami PNS atau perceraian PNS dan Pemberhentian PNS karena menjadi
anggota/pengurus partai politik.
4.
Masalah
Keputusan BUMN dan BUMD antara lain pemberhentian pegawai Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM), Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar, dan Bank Kredit
Kecamatan (BKK) yang aturan dasarnya diatur didalam hukum publik. Pada umumnya
pemberhentian pegawai BUMD dan BUMN dikarenakan melakukan penggelapan,
penyalahgunaan keuangan, atau penyalahgunaan kewenangan seperti melakukan
praktek bank didalam bank.
5.
Masalah
Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa (berdasarkan Peraturan Pemerintah
tentang Desa dan Peraturan Daerah) misalnya dikarenakan melakukan suatu
perbuatan tercela yang dilarang bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Kecenderungannya jumlah perkara yang berkaitan dengan pemberhentian kepala desa
dan perangkat desa semakin meningkat khususnya dikarenakan melakukan
perselingkuhan atau perzinahan dan perbuatan asusila lainnya serta melakukan
tindak pidana dalam jabatan (korupsi) yang dilarang bagi kepala desa dan
perangkat desa berdasarkan peraturan daerah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
penyelenggaran
Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi) di Indonesia merupakan
suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap
rakyat secara maksimal.
Peradilan telah lama dikenal Sejak dari zaman purba dan peradilan
merupakan suatu kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan
berdiri tanpa adanya peradilan. Karena peradilan itu adalah untuk meyelesaikan
segala sengketa diantara para peduduk.peradilan yang terjadi pada zaman
jahiliyah telah ada walaupun masih bersifat kesukuan artinya peraturan itu
hanya berlaku bagi suku itu sendiri. Sementara bagi suku yang lain tidak.
Akhirnya nyatakan bahsawasanya peradilan di zaman jahiliyah masih minim karena
belum memiliki sistem peradilan yang mapan.
Kompetensi dalam peradilan administrasi negara yaitu Kompetensi Absolute, Kompetensi relative, Atribusi, Deligasi.
Peninjauan kembali terhadap administrasi negara dapat terjadi pada perbuatan
Penarikan atau peninjauan kembali daripada
perbuatan hukum administrasi yang sah dan tidak tuna Penarikan atau peninjauan
kembali daripada perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan (tuna,
cacad). Kasus-kasus yang terjadi yaitu Masalah Pertanahan, Masalah Perizinan, Masalah Kepegawaian, Masalah
Keputusan BUMN dan BUMD, Masalah Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, PT RajaGrafindo
Persada,Jakarta,1997.
Wiratno,
Pengantar Hukum Administrasi Negara,
Universitas Trisakti,Jakarta,
2009.
http://ulinoz.blogspot.com/2012/04/sejarah-peradilan-sebelum-masa-http://hukum-qu.blogspot.com/2013/12/kompetensi-peradilan-tata-usaha
negara.html
Tingkatkan
BalasHapusJangan sampai Hangus nya blog na
👍
T - T Fal Titanium Pan | Casino
BalasHapusT - T - microtouch solo titanium T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - titanium knee replacement T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T titanium rainbow quartz - T - T - T - T - T - T titanium spork - T - T - T - T - T - T - T - T - micro touch hair trimmer T - T - T - T - T - T - T - T - T - T -