Sabtu, 07 Februari 2015

Peradilan Administrasi Negara 1


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunianya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Peradilan Administrasi Negara 1. 
Makalah ini dibuat dengan mengambil beberapa sumber referensi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini khususnya kepada Bapak Drs. H. Tatang Mukhtar, M.Si yang telah memberikan waktunya untuk penulis dapat menyelesaikan makalah ini
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun penulis. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. 
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.






Bandung, April 2014 




Penulis 




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................   i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang....................................................................................................  1
1.2  Rumusan Masalah...............................................................................................  2
1.3  Tujuan...................................................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Urgensi Peradilan Administrasi  Negara...........................................................  3
2.2  Sejarah Peradilan...........................................................................................       4                
2.3  Kompetensi Peradilan Tatausaha Negara ( Peradilan Administrasi Negara ) 8
2.4  Peradilan Tatausaha Negara.............................................................................   11
2.5  Peninjauan Kembali oleh Organ yang bersangkutan....................................   13
2.6  Kasus...................................................................................................................   16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................   18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................   19


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Peradilan Administrasi negara adalah peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instasi-instasi administrasi negara, baik yang bersifat “perkara-perkara pidana atau perdata” dan “perkara adminstrasi negara murni”. Peradilan Administrasi Negara juga dapat di artikan sebagai  peradilan yang menyelesaikan “perkara-perkara administrasi negara murni” semata-mata.

Peradilan Administrasi Negara (PTUN) di perlukan keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa kepentingannya di rugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata badan atau pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar ketentuan hukum. Di indonesia, pengadilan administrasi negara di kenal dengan pengadilan tata usaha negara. Setiap lembaga-lembaga peradilan mempunyai kewenangan dan fungsi masing-masing, sehingga lembaga-lembaga peradilan ini mempunyai kompetensi absolut yang berbeda satu dengan  lainnya.

Keberadaan peradilan administrasi negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara-negara penganut paham Welfare State ( Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang menjadi tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan hak-haknya yang di rugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara karena keputusan atau kebijakan yang di keluarkannya.




1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa Urgensi Peradilan Administrasi Negara?
2.      Bagaimana Sejarah Peradilan?
3.     Apa kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi Negara)?
4.      Apa Peradilan Tata Usaha Negara?
5.      Bagaimana Peninjauan kembali oleh organisasi yang bersangkutan?
6.      Apa kasus-kasusnya?

1.3  Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Urgensi Peradilan Administrasi Negara.
2.      Untuk mengetahui sejarah Peradilan.
3.   Untuk mengetahui Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi Negara).
4.      Untuk mengetahui peradilan Tata Usaha Negara.
5.      Untuk mengetahui peninjauan kembali oleh organisasi yang bersangkutan.
6.      Untuk mengetahui Kasus-kasus apa saja yang terjadi.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Urgensi Peradilan Administrasi Negara

Ayat 1 :Kekuasaan kehakiman di lakukan oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Dasar peradilan dalam UUD 1945:
Ayat 2 : susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu di atur dengan undang-undang.
Sebagai pelaksanaan pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan.
Dengan demikian penyelenggaran Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi) di Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
Apabila kita melihat kebelakang, maka sejarah menunjukkan bahwa keinginan untuk memiliki Peradilan Tata Usaha Negara secara lebih konkret sudah mulai dirintis oleh Wirjono Prodjodikiro sejak tahun 1949. Hal itu dapat diketahui dari naskah Rancangan Undang-Undang Dasar Tahun 1949 tentang Acara Dalam Soal Tata Usaha Pemerintahan.
Indonesia sebagai Negara hukum telah berusaha meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warganya dalam segala bidang. Kesejahteraan itu hanya dapat dicapai dengan melakukan aktivitas–aktivitas pembangunan disegala bidang. Dalam melaksanakan pembangunan yang multi kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan yang sangat besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang, pemborosan, dan sebagainya.
Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindak pemerintahan tidak dapat ditampung oleh peradilan umum yang ada. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peradilan khusus yang dapat menyelesaikan masalah tersebut, yakni: sengeketa antara pemerintah dengan rakyat. Peradilan yang dimaksud yaitu peradilan administrasi. Begitu pentingnya peradilan administrasi ini untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat atas tindak pemerintah.
Dengan diberlakukannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan pasal 143A dapat disebut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui 3 badan, yakni Badan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Umum.

2.2  Sejarah Peradilan
1.      Peradilan bagi bangsa Romawi, Persi dan Mesir kuno
Sejarah peradilan telah ada sejak adanya manusia. Begitu pula pada bangsa Romawi. Persi dan bangsa Mesir Kuno pada masa yang lalu. Peradilan pada bangsa Romawi Persi, dan Mesir Kuno telah memiliki lembaga peradilan yang sedemikian rupa terorganisir dengan memiliki undang-undangataupun peraturan dan program-program yang akan dilaksanakan oleh Qadi. Qadhi merupakan orang yang diangkat negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara berdasarkan hukum Allah SWT.
Saksi, sumpah, atau keadaan tertangkap basah merupakan alat-alat bukti dalam peradilan. Hal tersebut merupakan pendapat dari bangsa israel dan bangsa Arab sebelum Islam. Bangsa Barat juga menjelaskan tentang teknik pengambilan keputusan dan alat-alat bukti dalam peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya peradilan pada masa ini telah ada walaupun masih sederhana.
2.      Peradilan Bangsa Arab Sebelum Islam (Masa Jahiliyah)
Negara Arab merupakan negara yang dikelilingi berbagai negara : utara oleh Syiria, sebelah Timur oleh Najd, Sebelah Barat oleh Yaman dan sebelah selatan oleh Laut Erit. Letak geografinya yang sangat strategis sehingga kehidupan perekonomiannya berjalan dengan lancar. Arab sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh gurun pasir yang sangat luas, dan sangat mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga orang-orang Arab terkenal sebagai orang yang zalim dan keras.
Hukum rimba merupakan salah satu hukum yang dianut bangsa Arab saat itu sehingga kenyamanan hidup tidak ada. Masa tersebut juga dikenal dengan kegelapan dimana kezaliman, penindasan, kebodohan serta segudang permasalahan lainnya terjadi pada bangsa Arab. Dalam bidang hukum bangsa Arab sebelum islam menggunakan Hukum adat sebagai hukum dengan berbagai cara dan bentuknya.
3.      Peradilan pada Masa Jahiliyah
Jahiliyah berasal dari bahasa Arab (jahila) yang berarti kebodohan, sedangkan menurut Istilah berarti penyembahan berhala Bangsa Arab pada zaman jahiliyah sebelum islam memiliki system peradilan yang mapan. Namun mereka yang berpegangan pada tradisi dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing kabilah (suku) untuk menjadi pedoman utama dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’rii) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra Islam dan menjadi jalan ke luar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru sering kali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realita bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama kecenderungan dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam melaksanakan peradilan pada mulanya dilakukan di mana saja seperti di bawah pepohonan, kemah-kemah maupun pasar kota. Lalu Amir bin Zahrib duduk memutuskan hokum di depan rumahnya. Sampai akhirnya dibangun bangunan khusus untuk pengadilan. Bangunan pengadilan yang termasyhur adalah Darun Nadwah yang ada di makah yang dibangun oleh Qushay bin ka’ab yang pintunya diharapkan ke kabah. Namun pertengahan abad ke 3 Hijrah bangunan tersebut dihancurkan oleh khalifah Mu’tadlid al-Abbasy (281 H).

Sejarah Peradilan di Indonesia
Sejarah berdirinya lembaga pengadilan di Indonesia jauh sudah ada sebelum penjajahan Belanda. Kala itu dikenal adanya berbagai pengadilan yang diselenggarakan kerajaan-kerajaan di nusantara. Meskipun pada zaman kerajaan itu, yang berkuasa adalah mutlak pada raja dan menjalankan peradilan adalah raja, tetapi tidak dapat pula disangkal bahwa di Indonesia ketika itu, tidak semua perkara diadili oleh raja sebab pada tiap-tiap kesatuan hukum memiliki kepala-Kepala adat dan daerah yang sekaligus juga dapat bertindak sebagai hakim perdamaian. Hal ini terbukti dengan adanya penyelidikan sarjana Belanda yang telah berhasil menunjukkan adanya suatu garis pemisahan di antara pengadilan raja dengan pengadilan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu. Melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah mengalami amandemen. Sejak mulai berlakunya kcmbali UUD 1945, lembaga pengadilan telah berbeda jauh dengan lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak itu tidak dijumpai lagi peradilan Swapraja, peradilan adat, peradilan desa, namun badan-badan peradilan telah berubah dan berkembang. Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 mcnyebutkan adanya empat lingkungan Peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha ncgara.
Kemudian sejalan jatuhnya pemrintahan Orde baru yang disertai dengan tuntutan Reformasi di segala bidang termasuk hukum dan peradilan, maka para Hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mendesak pemerintah supaya segera mereformasi lembaga peradilan. Karena kekuasaan Pengadilan yang ada saat itu masih belum bisa dipisahkan dari Eksekutif, oleh karena untuk urusan administrasi dan finansial masih dibawah Menteri Kehakiman yang merupakan pembantu presiden. Perjuangan menjadi kekuasaan yudikatif yang mandiri dibawah Mahkamah agung itu itu berlangsung cukup lama hingga kemudian mengalami perkcmbangan yang cukup mendasar, yakni setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 35 tahun 1999 tcntang Perubahan Atas Undang-Undang No. 4 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah kemudian ke empat lingkungan badan peradilan dikembalikan menjadi yudikatif dibawah satu atap Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri kemudian dicabut dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945.. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, kembali terjadi perubahan yang mendasar terhadap badan/ lembaga peradilan di Indonesia.


2.3  Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi Negara)

Di dalam pustaka hukum, kompetensi peradilan  termasuk Peradilan Tata Usaha Negara dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :
1.      Kompetensi Absolute
yaitu kewenangan pengadilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus satu jenis perkara tertentu  dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan  lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini kompetensi absolute dari PTUN sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No. 5/1986 adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
2.      Kompetensi relative
yaitu kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan berkaitan pada yurisdiksi wilayahnya. Kewenangan tersebut terletak di pengadilan manakah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu. Sedangkan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara diatur dalam pasal 54 ayat 1 s/d 6 UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara yang menyebutkan :
a.       Gugatan sengketa Keputusan Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Contoh : Bila Penggugat  beralamat di kota Surabaya, sedangkan Tergugat adalah Walikota Semarang , maka menurut ketentuan ayat tersebut, gugatan diajukan di PTUN Semarang, karena Walikota Semarang berkedudukan di daerah hukum PTUN Semarang.
b.      Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
c.       Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada  dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan penggugat, untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
Contoh : Penggugat kedudukannya di daerah hukum PTUN Makasar, sedangkan Tergugat kedudukannya di daerah hukum PTUN Semarang, maka gugatan dapat diajukan ke PTUN Makasar untuk selanjutnya diteruskan ke PTUN Semarang.
d.      Dalam hal–hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
e.       Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di Jakarta ;
f.       Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat diluar negeri , gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat kedudukan tergugat.
Berdasarkan jenis lingkungan pengadilan dibedakan atas pengadilan umum (Negeri), pengadilan militer, pengadilan agama, pengadilan TUN (pengadilan administrasi), sedangkan berdasarkan tingkatanya pengadilan terdiri atas pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi (pengadilan tingkat banding), Mahkamah Agung (pengadilan tingkat kasasi). Untuk menentukan kompetensi PTUN disamping kompetensi absolut dan relatif, Pertama dapat dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak didalam lapangan hukum perdata (bukan perkara berkaitan dengan islam) dan pidana, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah pengadilan umum (Negeri). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan aparatur militer, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah pengadilan militer. Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum perdata (berkaitan dengan islam), maka sudah tentu yang berkompetensi adalah pengadilan Agama. Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan KTUN, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah pengadilan Tata Usaha Negara (hakim PTUN).

Kedua, Pembagian kompetensi atas atribusi dan delegasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Atribusi, yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan :
1)      Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/ setingkat, Contoh : Pengadilan Administrasi terhadap pengadilan Negeri (umum), Pengadilan agama atau pengadilan militer.
2)      Secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh : Pengadilan negeri (umum) terhadap pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

b.      Deligasi, yang berkaitan dengan pembagian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh : antara Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan Negeri antara lain di Garut, Tasikmalaya, Ciamis.



24Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Alat Ukur Keabsahan Tindakan Pemerintah
Di dalam membuat suatu keputusan (beschikking) pemerintah harus memperhatikan ketentuan atau syarat-syarat tertentu apabila syarat tertentu dimaksud tidak dipenuhi berakibat keputusan yang dibuat tidak sah. Oleh karena itu tidak sahnya suatu keputusan yang dibuat pemerintah akan berakibat tidak sahnya tindakan pemerintah. Tidak sahnya tindakan pemerintah tersebut pada akhirnya akan berakibat keputusan yang dibuat batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

Agar keputusan yang dibuat oleh pemerintah dapat berlaku sebagai keputusan yang sah, maka harus memenuhi 4 (empat) syarat antara lain:
a.       Keputusan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa membuatnya;
b.      Oleh karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak tersebut tidak boleh memuat kekurangan yuridis;
c.       Keputusan tersebut diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan cara-cara (prosedure) membuat ketetapan yang dimaksud, apabila cara yang dimaksud ditetapkan dengan tegas  dalam peraturan dasar tersebut; dan
d.      Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
Cacat yuridis keputusan Tata Usaha Negara dan tindakan pemerintah menyangkut 3 (tiga) aspek utama yakni aspek Kewenangan, Prosedur; dan Substansi/Materi.
Tindakan pemerintahan dijalankan berdasarkan norma wewewang pemerintah baik diperoleh secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Dengan demikian suatu tindakan pemerintah yang tidak didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang untuk bertindak adalah sebagai tindakan yang melanggar hukum. Oleh karena norma wewenang sebagai norma pemerintahan, maka untuk mengukur keabsahan tindakan pemerintah dapat menggunakan 2 (dua) alat ukur yaitu:
a.       Peraturan perundang-undangan, dan/atau
b.      Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Kedua  alat ukur yang dimaksud diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 Undang-undang dimaksud memuat alasan-alasan yang digunakan untuk menggugat pemerintah atas dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan pihak yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara.
Secara lengkap bunyi Pasal 53 adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Orang atau Badan Hukum yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang bewenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yang dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis menurut penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang meliputi;
a.       Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara;
b.      Asas Tertib Penyelenggara Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara;
c.       Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif;
d.      Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
e.       Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak ddan kewajiban Penyelenggara Negara;
f.       Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
g.      Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

25Peninjauan kembali oleh Organ yang bersangkutan
Penerikan atau peninjauan kembali daripada perbuatan hukum administrasi dapat terjadi pada perbutan hukum yang sah dan tidak tuna atapun sebaliknya yakni perbuatan hukum yang tidak sah dan tidak tuna.
1.      Penarikan atau peninjauan kembali daripada perbuatan hukum administrasi yang sah dan tidak tuna
Dalam hal penarikan atau peninjauan kembali daripada perbuatan hukum administrasi yang sah dan tidak tuna itu terdapat beberapa dalil atau asas hukum yang wajib dijunjung tinggi.
a)      Setiap penarikan atau peninjauan kembali daripada suatu tindak hukum administrasi yang sah dan utuh wajib disertai dengan adanya suatu masa peralihan guna memberikan kesempatan kepada warga masyarakat yang bersangkutan secukupnya untuk menekan kerugiannya sampai sekecil-kecilnya bahkan dimana peprlu dengan memberikan gati rugi.
b)      Penarikan atau peninjauan kembali daripada suatu tindak hukum administrasi mengenai suatu urusan yang sedang dalam penyelesaian tidak bias, oleh karena suatu yang telah terjadi tidak mungkin ditiadakan atau diubah.
c)      Penarikan atau peninjauan kembali secara sepihak dengan berlaku surut (apalagi dengan retroaktif artinya terhitung tanggal dikeluarkannya/dilakukannya semula) tidak bias, oleh karena akan membuat segala apa yang telah dilakukan oleh masyarakat atau instansi yang bersangkutan yang sah oleh sebab berpangkal pada tindak hukum administrasi  tersebut menjadi tidak sah (tanpa dasar hukum).
d)     Penarikan atau peninjauan kembali daripada suatu tindak hukum administrasi untuk hari kemudian (ex nunc atau ex tempore futuro) hanya mungkin setelah dirundingkan dengan warga masyarakat/instansi yang bersangkutan disertai dengan bukti yang jelas dan masuk akal ternyata demi kepentingan umum, dengan tidak mengurangi hak warga masyarakat/instansi yang bersangkutan untuk memperoleh ganti rugi.

2.      Penarikan atau peninjauan kembali daripada perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan (tuna, cacad)
Suatu perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan adalah suatu tindak hukum administrasi yang melanggar atau bertentangan dengan aturan hukum tertulis  atau tidak tertulis. Dengan adanya asas legalitas (wetmatigheid) dan asas yuridikitas (rectmatigheid), maka seyogyanyalah organ administrasi yang bersangkutan melakukan koreksi atau ralat guna menghilangkan kekurangannya tersebut.  Terdapat dalil-dalil atau asas-asanya sebagai berikut:
a)      Perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan dapat (tidak wajib) ditarik atau ditinjau kembali oleh organ administrasi yang bersangkutan, kecuali bilamana ada ketentuan atau aturan hukum yang menentang penarikan/peninjauan kembali tersebut.
b)      Bilamana di dalam undang-undang atau peraturan dasar tidak ada ketentuan-ketentuan lain mengenai penarikan/peninjauan kembali maka penarikan/peninjauan kembali tindak hukum administrasi tersebut mengikuti bentuk dan prosedur yang berlaku bagi penerbitannya.
c)      Bilamana penarikan/peninjauan kembali suatu tindak hukum administrasi yang mengandung kekurangan akan merugikan kepastian hukum, atau mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah atau akan menurunkan wibawa pemerintah, atau akan menimbulkan kerugian atau penderitaan yang tidak berperikemanusiaan kepada warga masyarakat yang bersangkutan, maka penarikan atau peninjauan kembali tersebut tidak bias dilakukan begitu saja.
d)     Bilamana tidak ada ketentuan lain dalam undang-undang-undang atau peraturan dasarnya, maka suatu tindak hukum administrasi yang tuna karena beberapa ketentuan atau syarat-syarat tidak dipenuhi, dapat ditarik /ditinjau kembali untuk sementara sampai semua persyaratan dipenuhi oleh yang bersangkutan. Bilamana dalam jangka waktu yang telah ditetapkan secara perhitungan wajar yang bersangkutan tetap tidak dapat memenuhi persyaratannya, maka perbuatan hukum administrasi tersebut dapat ditinjau kembali atau ditarik kembali sama sekali dengan diganti tindak hukum administrasi lain yang memenuhi persyaratan. 

26.  Kasus-kasus
1.      Masalah Pertanahan, Jika yang lebih dipersoalkan oleh Penggugat adalah mengenai kepemilikan atas suatu bidang tanah, maka hal tersebut bukan menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa memutus dan menyelesaikannya melainkan kewenangan peradilan umum. Namun apabila yang dipersoalkan oleh Penggugat adalah menyangkut kewenangan, substansi dan prosedur penerbitan sertipikat tanah atau pencatatan dalam buku C Desa, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Sedangkan apabila yang dipersoalkan adalah kedua-duanya, maka persoalan kepemilikan lebih hakiki dibandingkan dengan kewenangan, substansi dan prosedur penerbitan sertipikat tanah, sehingga oleh karenanya PTUN harus menyatakan secara absolut tidak berwenang memeriksa perkaranya dan gugatan dinyatakan tidak diterima. 
2.      Masalah Perizinan, bisa karena penerbitan izin atau sebaliknya penolakan penerbitan izin, antara lain : Izin Mendirikan Bangunan, khususnya ruko, hotel dan tower telekomunikasi, Izin Gangguan (HO) misalnya untuk mendirikan peternakan ayam, Izin Penggunaan Bangunan, Izin Perubahan Fungsi Bangunan.
3.      Masalah Kepegawaian, antara lain : pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1979, hukuman disiplin PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 (dahulu), sedangkan untuk saat ini masalah hukuman disiplin PNS akan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, mutasi PNS yang dilatarbelakangi ketidakharmonisan hubungan antara atasan-bawahan, pengisian jabatan struktural, pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS , penolakan terhadap penyandang cacat untuk mengikuti tes CPNS , masalah poligami PNS atau perceraian PNS dan Pemberhentian PNS karena menjadi anggota/pengurus partai politik.
4.      Masalah Keputusan BUMN dan BUMD antara lain pemberhentian pegawai  Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar, dan Bank Kredit Kecamatan (BKK) yang aturan dasarnya diatur didalam hukum publik. Pada umumnya pemberhentian pegawai BUMD dan BUMN dikarenakan melakukan penggelapan, penyalahgunaan keuangan, atau penyalahgunaan kewenangan seperti melakukan praktek bank didalam bank.
5.      Masalah Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa (berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Desa dan Peraturan Daerah) misalnya dikarenakan melakukan suatu perbuatan tercela yang dilarang bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa. Kecenderungannya jumlah perkara yang berkaitan dengan pemberhentian kepala desa dan perangkat desa semakin meningkat khususnya dikarenakan melakukan perselingkuhan atau perzinahan dan perbuatan asusila lainnya serta melakukan tindak pidana dalam jabatan (korupsi) yang dilarang bagi kepala desa dan perangkat desa berdasarkan peraturan daerah.






BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
penyelenggaran Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan Administrasi) di Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
Peradilan telah lama dikenal Sejak dari zaman purba dan peradilan merupakan suatu kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan berdiri tanpa adanya peradilan. Karena peradilan itu adalah untuk meyelesaikan segala sengketa diantara para peduduk.peradilan yang terjadi pada zaman jahiliyah telah ada walaupun masih bersifat kesukuan artinya peraturan itu hanya berlaku bagi suku itu sendiri. Sementara bagi suku yang lain tidak. Akhirnya nyatakan bahsawasanya peradilan di zaman jahiliyah masih minim karena belum memiliki sistem peradilan yang mapan. Kompetensi dalam peradilan administrasi negara yaitu Kompetensi Absolute, Kompetensi relative, Atribusi, Deligasi. Peninjauan kembali terhadap administrasi negara dapat terjadi pada perbuatan
Penarikan atau peninjauan kembali daripada perbuatan hukum administrasi yang sah dan tidak tuna Penarikan atau peninjauan kembali daripada perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan (tuna, cacad). Kasus-kasus yang terjadi yaitu Masalah Pertanahan, Masalah Perizinan, Masalah Kepegawaian, Masalah Keputusan BUMN dan BUMD, Masalah Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa.



DAFTAR PUSTAKA

   Harahap Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, PT RajaGrafindo       Persada,Jakarta,1997.
Wiratno, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Universitas Trisakti,Jakarta,
            2009.
http://ulinoz.blogspot.com/2012/04/sejarah-peradilan-sebelum-masa-http://hukum-qu.blogspot.com/2013/12/kompetensi-peradilan-tata-usaha
       negara.html






















2 komentar:

  1. Tingkatkan
    Jangan sampai Hangus nya blog na
    👍

    BalasHapus
  2. T - T Fal Titanium Pan | Casino
    T - T - microtouch solo titanium T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - titanium knee replacement T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T - T titanium rainbow quartz - T - T - T - T - T - T titanium spork - T - T - T - T - T - T - T - T - micro touch hair trimmer T - T - T - T - T - T - T - T - T - T -

    BalasHapus